Kebetulan yang Langka
“Ibu, aku
sudah membuat sarapan, mari kita makan bersama bu,”
“Kau
bangun pagi sekali An, biasanya kau tidak mau memasak untuk sarapan pagi
seperti ini.” Jawab sang ibu dengan nada menggoda.
“Ibu ini,
ini kan hari special bu,” Jawab gadis muda itu dengan wajah tersipu malu.
“Ah,
benar, ini hari pertama kau masuk kuliah bukan?” Jawab sang ibu, mulai mengerti
maksud anaknya. “Tidak terasa kau sudah dewasa sekarang, sudah bukan lagi gadis
kecil ibu yang dulu, padahal rasanya baru kemarin ibu mengantarmu pergi ke
sekolah dasar.” Lanjut ibunya dengan mata menerawang.
“Ibu ini,
aku tidak sedewasa yang ibu kira, mungkin bagi orang lain aku sudah dikatakan
telah dewasa, tapi ibu masih bisa tetap menganggapku sebagai gadis kecil ibu.”
“Bagaimanapun aku masih tetap Anna yang dulu bu, gadis kecil yang selalu
merepotkan ibu.” Kata gadis muda itu sambil tersenyum.
“Kau
benar, sudahlah mari kita sarapan sekarang, kau sudah harus berangkat sebentar
lagi bukan? Tentunya kau tidak ingin terlambat dihari pertama kuliahmu.” Sahut
ibunya sambil berjalan ke ruang makan.
Sesampainya
di ruang makan, sang ibu tersenyum kecil melihat masakan yang dihidangkan
putrinya. “Dia memang sudah bukan gadis kecilku lagi.” Kata sang ibu dalam
hati.
“Maaf bu,
aku hanya bisa menghidangkan masakan sederhana untuk sarapan kita pagi ini. Ibu
tahu aku belum begitu pandai memasak seperti ibu, tapi setelah ini aku akan
lebih giat lagi belajar memasak.”
“Tidak
apa, kau sudah cukup pandai memasak, ibu tidak menyangka kau bisa belajar
secepat ini.” “Lagipula masakanmu sangat enak.” Lanjut ibunya.
“Syukurlah
kalau ibu menyukainya”.
Mereka
berdua menikmati sarapan pagi dengan tenang, sang ibu memang sejak lama
menetapkan peraturan bahwa selama makan tidak ada yang boleh berbicara
sepenting apapun masalah yang ingin dibicarakan, jika pada saat makan, maka
harus ditunda dulu.
***
“Ibu, aku
berangkat.”
“Ya,
hati-hati dijalan. Nikmati hari pertamamu ya.” Jawab sang ibu.
Anneliese
Victoria Campbell adalah seorang gadis berumur 17 tahun yang sangat cuek namun
dia bisa menjadi begitu perasa jika sudah menyangkut orang lain terutama
ibunya. Dia tipe gadis energik yang tidak kenal lelah. Tidak ada satupun teman
di sekolahnya dulu yang tidak mengenalnya. Walaupun dia adalah tipe gadis yang
cuek dan tidak begitu banyak bersosialisasi, namun siapa yang tidak mengenal putri
dari seorang desainer wanita paling sukses Vivian Cecilia Campbell. Seorang
desainer berdarah Inggris-Jepang yang kemampuannya sudah diakui dunia
internasional.
Anna
bergegas mengeluarkan Ferrari sport merahnya, dia tidak ingin terlambat dihari
pertama kuliah, apalagi jarak dari rumahnya ke
University
of Edinburgh tempatnya menempuh pendidikan tinggi cukup jauh. Butuh waktu
setidaknya 30 menit perjalanan menuju kampusnya dengan menggunakan mobil.
Edinburgh
merupakan salah satu kota yang indah di Skotlandia. Sempat tidak percaya saat
sang ibu memilih untuk menetap di kota ini daripada di pusat kota London.
Sebagai seorang desainer ternama tentunya ibunya akan lebih memilih tinggal di
kota besar seperti London. Namun, kali ini berbeda, entah apa yang membuat
ibunya memutuskan untuk pindah dari pusat kota London yang hingar bingar ke
kota bersejarah ini.
Sambil
menikmati pemandangan sepanjang perjalanan menuju kampusnya, Anna mulai
berusaha mengenali setiap jalan yang ada di kota itu. Maklum saja dia dan
ibunya belum genap 6 bulan pindah ke kota ini, membuatnya harus mulai
beradaptasi dengan kota barunya.
Setelah
menempuh perjalanan kira-kira 30 menit, sampailah dia di salah satu universitas
bersejarah di Skotlandia. Setelah memarkir mobilnya, dia bergegas mencari kelas
untuk mata kuliah pertamanya. Berulang kali dia meneliti denah ruang kelas yang
diberikan padanya untuk membantunya menemukan ruang kelas, namun dia justru
malah tersesat. “ Aku memang lemah dalam arah.” Rutuknya.
Saat
sedang kebingungan mencari, tiba-tiba saja ada seseorang yang memanggil
namanya. Merasa ada yang memanggil, dia pun menghentikan langkahnya dan menoleh
kebelakang. Betapa terkejutnya dia saat menjumpai teman masa kecilnya sedang
berjalan menghampirinya dengan wajah berseri-seri. “Anna, It’s good to see you
here. Sudah lama kita tidak berjumpa.”.
“Kau,
Dennis bukan? Dennis Arden?” Tanya Anna memastikan bahwa penglihatan dan
ingatannya akan sosok pemuda yang sekarang berdiri di hadapannya itu tidaklah
salah.
“Ya, ini
aku Dennis. Teman masa kecilmu, ingat?” Jawabnya.
“Tentu
saja aku ingat, bagaimana aku bisa lupa pada sahabat terbaikku.” Sahut Anna sambil
tersenyum manis. “Apa kabarmu? Sudah hampir 7 tahun kita tidak berjumpa,
kupikir kau masih tinggal di Athena sampai sekarang.” Lanjutnya.
“Aku
baik, kau sendiri? Sudah sejak 2 tahun yang lalu aku pindah kemari. Kau sendiri
bagaimana? Terakhir kali kudengar kau tinggal di London.” Jawab Dennis dengan
nada ingin tahu.
“Sama
denganmu. Ya, aku memang tinggal di London sampai kira-kira 6 bulan yang lalu
sebelum pindah kemari.” Jawab Anna. Dia benar-benar tidak menyangka bisa
bertemu lagi dengan Dennis disini. Awalnya, dia merasa kepindahannya dan ibunya
kemari tidak akan membawa perubahan apapun. Bahkan dia sempat protes pada
ibunya, karena dengan kepindahan mereka ke Edinburgh itu berarti dia harus
mengucapkan selamat tinggal pada kawan-kawannya di London. “Aku tidak tahu
harus merasa senang atau tidak, aku memang merasa asing disini karena aku tidak
mengenal siapapun, tapi bertemu dengan Dennis benar-benar kebetulan luar
biasa.” Pikir Anna dalam hati.
“Kalau
begitu, kau masih baru disini. Ah ya, kulihat tadi kau sepertinya sedang
kebingungan ada apa?” Sahut Dennis lagi masih dengan senyum yang tidak pernah
hilang dari paras tampannya.
Mendengar
pertanyaan Dennis, Anna seperti baru tersadar. Dia baru ingat bahwa dia hampir
terlambat masuk kelas dan bahkan belum tahu sama sekali letak kelasnya. “Gawat,
aku hampir terlambat di kelas pertamaku, aku benar-benar bingung karena tidak
tahu dimana letak kelasku.” Kata Anna sedikit panik.
“Kau
benar-benar tidak berubah, masih saja lemah dalam arah.” Sahut Dennis sambil
menahan tawa saat melihat Anna yang mulai cemberut mendengar Dennis yang
menyindirnya. “Baiklah tuan putri, jangan cemberut begitu, mari kuantar kau ke
kelasmu.” Lanjutnya.
Setelah
menyebutkan kelasnya, Dennis pun mengantarkan Anna ke kelas yang dicarinya.
Untungnya kelas belum dimulai sehingga Anna masih belum terlambat untuk
mengikuti kelas pertamanya. “Hah..untunglah masih belum terlambat. Ini hari
pertamaku kuliah, apa jadinya kalau aku sampai terlambat.” Kata Anna sambil
menghela nafas lega.
“Haha..kau
ini, masuklah ke kelasmu. Aku harus segera kembali ke kelas sekarang, kalau kau
butuh bantuanku, tidak usah sungkan, kau bisa menghubungiku. Masih menyimpan
nomor handphone yang kuberikan padamu 3 tahun yang lalu bukan? Nomorku masih
sama.” Dennis berkata sambil mengacak rambut Anna.
“Ya,
tentu saja aku masih menyimpannya, terimakasih banyak ya, kau sangat membantuku
hari ini.” Jawab Anna sambil tersenyum tulus.
Dennis
hanya tersenyum sambil menjawab, “Tidak masalah, aku senang bisa bertemu
denganmu lagi.” “Aku pergi dulu, sampai jumpa lagi.” Lanjutnya, sambil beranjak
pergi.
“Ya,
sampai jumpa.” Jawab Anna. Dia menunggu sampai sosok Dennis tidak terlihat lagi
di koridor, setelah itu dia pun beranjak masuk ke kelasnya, bersiap untuk
mengikuti pelajaran pertamanya di universitas.
***
Vivian
melihat ke luar jendela rumahnya, hari ini memang hari yang cerah, membuat
siapa saja menjadi bersemangat dalam beraktifitas. Dia bersiap untuk
meninggalkan rumah dan memulai rutinitas hariannya di butik. Sebagai seorang desainer
kelas dunia tentunya dia memiliki butik tempatnya bekerja dan memamerkan
karya-karyanya. Kemampuannya dalam medesain pakaian memang sudah tidak
diragukan lagi. Tak jarang desainnya menjadi tren di tiap tahunnya. Tak heran
jika butiknya selalu menjadi jujukan orang-orang ternama dunia, mulai dari
artis hingga para bangsawan dan keluarga kerajaan Britania Raya.
Setelah
memastikan rumahnya terkunci dengan baik, dia bergegas menuju garasi dan
mengeluarkan mobilnya. Sambil menyalakan radio, dia mengemudikan mobilnya
menuju butik. Dalam perjalanan, saat melewati sebuah swalayan besar di kota
itu, dia memutuskan untuk mampir dan membeli sesuatu disana. “Mungkin aku akan
membeli beberapa makanan ringan untuk istirahat nanti.” Pikirnya.
Di
berbelok menuju swalayan dan memakirkan mobilnya disana. Setelah selesai
memarkir mobil, dia bergegas turun dan menuju pintu masuk swalayan. Tak mau
membuang waktu dia pun mengarahkan kakinya ke stand yang dituju. Tanpa melalui
pertimbangan terlalu lama, dia mengambil beberapa makanan ringan favoritnya dan
meletakkannya di dalam trolley.
Sambil
berjalan kearah kasir, sesekali dia melirik jam tangan mahal yang melingkar
manis di tangan kirinya. “Sudah hampir pukul 9, aku harus bergegas.” Gumamnya.
Sudah menjadi kebiasaannya untuk selalu datang tepat waktu di butik. Sekalipun
dialah pemilik butik itu, tetapi dia tidak pernah membiarkan dirinya terlambat
untuk datang kecuali jika memang terpaksa. Hal inilah yang membuat karyawannya
segan, karena bos mereka selalu datang lebih pagi bahkan dari karyawannya
sendiri.
Setelah
selesai membayar belanjaannya, diapun menuju tempat mobilnya diparkir. Saat
sedang terburu-buru, tanpa sengaja, dia bertabrakan dengan seorang wanita
seusianya. Barang belanjaannya pun terjatuh karena tabrakan itu. Merasa dialah
yang bersalah, Vivian memutuskan untuk meminta maaf sembari membantu wanita itu
berdiri. “Maaf, maafkan saya, karena terburu-buru saya tidak memperhatikan
jalan.” Katanya, “Anda baik-baik saja?” Tanyanya, khawatir jika wanita itu
terluka.
“Ah,
tidak apa-apa, saya juga bersalah karena kurang hati-hati.” Sahut wanita itu
sambil tersenyum. saat melihatnya, Vivian merasa seperti mengenal wanita itu.
“Sepertinya aku mengenalnya.” Pikirnya. “Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
Wanita yang ditanyainya hanya mengerutkan dahi saat Vivian menanyakan
tentangnya lagi. “Ah, ya, aku baru ingat, kaukah itu Liz? Elizabeth Arden?”
Tanya Vivian.
“Ya, kau
Vivian bukan? Senang bisa bertemu denganmu.” Sahut wanita yang dipanggil Liz
itu. “Pantas saja rasanya aku mengenalmu, kau tidak banyak berubah Vy,”
Lanjutnya.
Setelah
memastikan diri mereka masing-masing, mereka pun berbincang dengan akrab
layaknya 2 sahabat lama yang baru bertemu kembali. Namun, Vivian sadar dia
tidak bisa berbincang terlalu lama dan memutuskan untuk menyudahi perbincangan
mereka sambil sebelumnya memberikan alamat rumahnya pada Liz dan mengundangnya
makan malam. “Kalian harus datang, Anna pasti senang bertemu dengan kalian
lagi.” Sahut Vivian sebelum mengucapkan selamat tinggal dan beranjak pergi
menuju mobilnya.
***
Senja
mulai datang, cakrawala biru terganti oleh semburat jingga. Suara mesin mobil
terdengar menderu di pekarangan rumah mewah itu. Dari dalamnya, keluar seorang
gadis cantik menghampiri sosok wanita paruh baya yang baru saja memarkirkan
mobilnya. “Ibu, kenapa baru pulang? Tidak biasanya.” Tanya gadis itu. “Maafkan
ibu, banyak pekerjaan di butik, sehingga ibu terpaksa pulang terlambat.” Sahut
sang ibu. “Kau sudah makan malam An?” Lanjutnya. “Tidak bu, aku menunggu ibu, aku
sudah menyiapkan makan malam untuk kita, setelah ibu selesai membersihkan diri
kita makan malam bersama ya,” Sahut Anna sambil berjalan beriringan dengan
ibunya masuk kedalam rumah.
Saat
makan malam dirumah megah itu terlalui seperti biasanya, tenang dan sunyi. Sang
empunya rumah memang sangat disiplin dalam hal etika. Selesai mencuci peralatan
makan dan membereskan semuanya, Anna dan ibunya menuju ruang keluarga untuk
bersantai. Seperti biasa, mereka akan duduk santai berdua di sofa ruang
keluarga yang nyaman menghadap perapian sambil saling menceritakan pengalaman
masing-masing setiap harinya.
“Ah ya,
ibu baru ingat, tadi pagi ibu bertemu dengan tetangga lama kita di London. Kau
masih ingat dengan keluarga Arden bukan?” Vivian bertanya pada Anna sambil
meminum coklat panas yang disajikan anaknya.
“Tentu
saja aku masih ingat bu, kebetulan sekali, aku pun bertemu dengan Dennis di
universitas tadi pagi saat aku sedang kebingungan mencari ruang kelasku, dia
yang membantuku.” Jawab Anna dengan mata berbinar ceria. “Apa ibu bertemu
dengan bibi Liz?” Lanjutnya.
“Ya, ibu
bertemu dengannya di supermarket. Kami sempat berbincang sebentar, ibu sudah
memberitahunya alamat rumah kita. Ibu ingin mengundangnya makan malam.”
“Itu ide
yang bagus bu.” Sambut Anna. Dia merasa ide ibunya untuk mengundang keluarga
Arden makan malam di rumah mereka benar-benar bagus. Apalagi sudah cukup lama
keluarga mereka tidak bertemu, padahal dulu keluarganya dan keluarga Arden
bersahabat akrab.
“Yah, ibu
akan memberitahumu lagi jika mereka akan datang untuk makan malam, sekarang
sudah malam lebih baik kau tidur.” Kata Vivian sambil memerintah putrinya untuk
tidur dengan halus.
“Ya bu,
ibu juga lebih baik tidur, selamat malam.” Sahut Anna sambil beranjak dari
tempat duduknya menuju kamar tidurnya.
Sambil berjalan
menuju kamarnya di lantai dua, dia mulai membayangkan jika memang rencana
ibunya untuk mengundang keluarga Arden makan malam benar-benar terjadi dia
tentu senang sekali. Sudah cukup lama dia tidak bertemu dengan Dennis dan
keluarganya. Sejujurnya saat bertemu dengan Dennis di universitas dia bahagia
sekali. Benar-benar suatu kebetulan yang langka dia bisa bertemu lagi dengan
teman masa kecil sekaligus cinta pertamanya.
“Mungkin
ini adalah hari keberuntunganku. Bertemu dengan Dennis lagi adalah takdir yang
mengejutkan.” Pikirnya dalam hati. “Semoga besok lebih baik daripada hari ini.”
Harapan yang selalu diucapkannya sebelum tidur, menjadi pengantarnya kealam mimpi.
(To be Continue...)
A/N :
Akhirnya updet bab 2 juga...kayaknya terlalu sedikit yah???
0 komentar:
Posting Komentar