Autumn Symphoni

Sabtu, 04 Juni 2011
Bab II

Kebetulan yang Langka

“Ibu, aku sudah membuat sarapan, mari kita makan bersama bu,”

“Kau bangun pagi sekali An, biasanya kau tidak mau memasak untuk sarapan pagi seperti ini.” Jawab sang ibu dengan nada menggoda.

“Ibu ini, ini kan hari special bu,” Jawab gadis muda itu dengan wajah tersipu malu.

“Ah, benar, ini hari pertama kau masuk kuliah bukan?” Jawab sang ibu, mulai mengerti maksud anaknya. “Tidak terasa kau sudah dewasa sekarang, sudah bukan lagi gadis kecil ibu yang dulu, padahal rasanya baru kemarin ibu mengantarmu pergi ke sekolah dasar.” Lanjut ibunya dengan mata menerawang.

“Ibu ini, aku tidak sedewasa yang ibu kira, mungkin bagi orang lain aku sudah dikatakan telah dewasa, tapi ibu masih bisa tetap menganggapku sebagai gadis kecil ibu.” “Bagaimanapun aku masih tetap Anna yang dulu bu, gadis kecil yang selalu merepotkan ibu.” Kata gadis muda itu sambil tersenyum.

“Kau benar, sudahlah mari kita sarapan sekarang, kau sudah harus berangkat sebentar lagi bukan? Tentunya kau tidak ingin terlambat dihari pertama kuliahmu.” Sahut ibunya sambil berjalan ke ruang makan.

Sesampainya di ruang makan, sang ibu tersenyum kecil melihat masakan yang dihidangkan putrinya. “Dia memang sudah bukan gadis kecilku lagi.” Kata sang ibu dalam hati.

“Maaf bu, aku hanya bisa menghidangkan masakan sederhana untuk sarapan kita pagi ini. Ibu tahu aku belum begitu pandai memasak seperti ibu, tapi setelah ini aku akan lebih giat lagi belajar memasak.”

“Tidak apa, kau sudah cukup pandai memasak, ibu tidak menyangka kau bisa belajar secepat ini.” “Lagipula masakanmu sangat enak.” Lanjut ibunya.

“Syukurlah kalau ibu menyukainya”.

Mereka berdua menikmati sarapan pagi dengan tenang, sang ibu memang sejak lama menetapkan peraturan bahwa selama makan tidak ada yang boleh berbicara sepenting apapun masalah yang ingin dibicarakan, jika pada saat makan, maka harus ditunda dulu.

***

“Ibu, aku berangkat.”

“Ya, hati-hati dijalan. Nikmati hari pertamamu ya.” Jawab sang ibu.

Anneliese Victoria Campbell adalah seorang gadis berumur 17 tahun yang sangat cuek namun dia bisa menjadi begitu perasa jika sudah menyangkut orang lain terutama ibunya. Dia tipe gadis energik yang tidak kenal lelah. Tidak ada satupun teman di sekolahnya dulu yang tidak mengenalnya. Walaupun dia adalah tipe gadis yang cuek dan tidak begitu banyak bersosialisasi, namun siapa yang tidak mengenal putri dari seorang desainer wanita paling sukses Vivian Cecilia Campbell. Seorang desainer berdarah Inggris-Jepang yang kemampuannya sudah diakui dunia internasional.

Anna bergegas mengeluarkan Ferrari sport merahnya, dia tidak ingin terlambat dihari pertama kuliah, apalagi jarak dari rumahnya ke
University of Edinburgh tempatnya menempuh pendidikan tinggi cukup jauh. Butuh waktu setidaknya 30 menit perjalanan menuju kampusnya dengan menggunakan mobil. 

Edinburgh merupakan salah satu kota yang indah di Skotlandia. Sempat tidak percaya saat sang ibu memilih untuk menetap di kota ini daripada di pusat kota London. Sebagai seorang desainer ternama tentunya ibunya akan lebih memilih tinggal di kota besar seperti London. Namun, kali ini berbeda, entah apa yang membuat ibunya memutuskan untuk pindah dari pusat kota London yang hingar bingar ke kota bersejarah ini.

Sambil menikmati pemandangan sepanjang perjalanan menuju kampusnya, Anna mulai berusaha mengenali setiap jalan yang ada di kota itu. Maklum saja dia dan ibunya belum genap 6 bulan pindah ke kota ini, membuatnya harus mulai beradaptasi dengan kota barunya.

Setelah menempuh perjalanan kira-kira 30 menit, sampailah dia di salah satu universitas bersejarah di Skotlandia. Setelah memarkir mobilnya, dia bergegas mencari kelas untuk mata kuliah pertamanya. Berulang kali dia meneliti denah ruang kelas yang diberikan padanya untuk membantunya menemukan ruang kelas, namun dia justru malah tersesat. “ Aku memang lemah dalam arah.” Rutuknya.

Saat sedang kebingungan mencari, tiba-tiba saja ada seseorang yang memanggil namanya. Merasa ada yang memanggil, dia pun menghentikan langkahnya dan menoleh kebelakang. Betapa terkejutnya dia saat menjumpai teman masa kecilnya sedang berjalan menghampirinya dengan wajah berseri-seri. “Anna, It’s good to see you here. Sudah lama kita tidak berjumpa.”.

“Kau, Dennis bukan? Dennis Arden?” Tanya Anna memastikan bahwa penglihatan dan ingatannya akan sosok pemuda yang sekarang berdiri di hadapannya itu tidaklah salah.

“Ya, ini aku Dennis. Teman masa kecilmu, ingat?” Jawabnya.

“Tentu saja aku ingat, bagaimana aku bisa lupa pada sahabat terbaikku.” Sahut Anna sambil tersenyum manis. “Apa kabarmu? Sudah hampir 7 tahun kita tidak berjumpa, kupikir kau masih tinggal di Athena sampai sekarang.” Lanjutnya.

“Aku baik, kau sendiri? Sudah sejak 2 tahun yang lalu aku pindah kemari. Kau sendiri bagaimana? Terakhir kali kudengar kau tinggal di London.” Jawab Dennis dengan nada ingin tahu.

“Sama denganmu. Ya, aku memang tinggal di London sampai kira-kira 6 bulan yang lalu sebelum pindah kemari.” Jawab Anna. Dia benar-benar tidak menyangka bisa bertemu lagi dengan Dennis disini. Awalnya, dia merasa kepindahannya dan ibunya kemari tidak akan membawa perubahan apapun. Bahkan dia sempat protes pada ibunya, karena dengan kepindahan mereka ke Edinburgh itu berarti dia harus mengucapkan selamat tinggal pada kawan-kawannya di London. “Aku tidak tahu harus merasa senang atau tidak, aku memang merasa asing disini karena aku tidak mengenal siapapun, tapi bertemu dengan Dennis benar-benar kebetulan luar biasa.” Pikir Anna dalam hati.

“Kalau begitu, kau masih baru disini. Ah ya, kulihat tadi kau sepertinya sedang kebingungan ada apa?” Sahut Dennis lagi masih dengan senyum yang tidak pernah hilang dari paras tampannya.

Mendengar pertanyaan Dennis, Anna seperti baru tersadar. Dia baru ingat bahwa dia hampir terlambat masuk kelas dan bahkan belum tahu sama sekali letak kelasnya. “Gawat, aku hampir terlambat di kelas pertamaku, aku benar-benar bingung karena tidak tahu dimana letak kelasku.” Kata Anna sedikit panik.

“Kau benar-benar tidak berubah, masih saja lemah dalam arah.” Sahut Dennis sambil menahan tawa saat melihat Anna yang mulai cemberut mendengar Dennis yang menyindirnya. “Baiklah tuan putri, jangan cemberut begitu, mari kuantar kau ke kelasmu.” Lanjutnya.

Setelah menyebutkan kelasnya, Dennis pun mengantarkan Anna ke kelas yang dicarinya. Untungnya kelas belum dimulai sehingga Anna masih belum terlambat untuk mengikuti kelas pertamanya. “Hah..untunglah masih belum terlambat. Ini hari pertamaku kuliah, apa jadinya kalau aku sampai terlambat.” Kata Anna sambil menghela nafas lega.

“Haha..kau ini, masuklah ke kelasmu. Aku harus segera kembali ke kelas sekarang, kalau kau butuh bantuanku, tidak usah sungkan, kau bisa menghubungiku. Masih menyimpan nomor handphone yang kuberikan padamu 3 tahun yang lalu bukan? Nomorku masih sama.” Dennis berkata sambil mengacak rambut Anna.

“Ya, tentu saja aku masih menyimpannya, terimakasih banyak ya, kau sangat membantuku hari ini.” Jawab Anna sambil tersenyum tulus.

Dennis hanya tersenyum sambil menjawab, “Tidak masalah, aku senang bisa bertemu denganmu lagi.” “Aku pergi dulu, sampai jumpa lagi.” Lanjutnya, sambil beranjak pergi.

“Ya, sampai jumpa.” Jawab Anna. Dia menunggu sampai sosok Dennis tidak terlihat lagi di koridor, setelah itu dia pun beranjak masuk ke kelasnya, bersiap untuk mengikuti pelajaran pertamanya di universitas.

***

Vivian melihat ke luar jendela rumahnya, hari ini memang hari yang cerah, membuat siapa saja menjadi bersemangat dalam beraktifitas. Dia bersiap untuk meninggalkan rumah dan memulai rutinitas hariannya di butik. Sebagai seorang desainer kelas dunia tentunya dia memiliki butik tempatnya bekerja dan memamerkan karya-karyanya. Kemampuannya dalam medesain pakaian memang sudah tidak diragukan lagi. Tak jarang desainnya menjadi tren di tiap tahunnya. Tak heran jika butiknya selalu menjadi jujukan orang-orang ternama dunia, mulai dari artis hingga para bangsawan dan keluarga kerajaan Britania Raya.

Setelah memastikan rumahnya terkunci dengan baik, dia bergegas menuju garasi dan mengeluarkan mobilnya. Sambil menyalakan radio, dia mengemudikan mobilnya menuju butik. Dalam perjalanan, saat melewati sebuah swalayan besar di kota itu, dia memutuskan untuk mampir dan membeli sesuatu disana. “Mungkin aku akan membeli beberapa makanan ringan untuk istirahat nanti.” Pikirnya.

Di berbelok menuju swalayan dan memakirkan mobilnya disana. Setelah selesai memarkir mobil, dia bergegas turun dan menuju pintu masuk swalayan. Tak mau membuang waktu dia pun mengarahkan kakinya ke stand yang dituju. Tanpa melalui pertimbangan terlalu lama, dia mengambil beberapa makanan ringan favoritnya dan meletakkannya di dalam trolley.

Sambil berjalan kearah kasir, sesekali dia melirik jam tangan mahal yang melingkar manis di tangan kirinya. “Sudah hampir pukul 9, aku harus bergegas.” Gumamnya. Sudah menjadi kebiasaannya untuk selalu datang tepat waktu di butik. Sekalipun dialah pemilik butik itu, tetapi dia tidak pernah membiarkan dirinya terlambat untuk datang kecuali jika memang terpaksa. Hal inilah yang membuat karyawannya segan, karena bos mereka selalu datang lebih pagi bahkan dari karyawannya sendiri.

Setelah selesai membayar belanjaannya, diapun menuju tempat mobilnya diparkir. Saat sedang terburu-buru, tanpa sengaja, dia bertabrakan dengan seorang wanita seusianya. Barang belanjaannya pun terjatuh karena tabrakan itu. Merasa dialah yang bersalah, Vivian memutuskan untuk meminta maaf sembari membantu wanita itu berdiri. “Maaf, maafkan saya, karena terburu-buru saya tidak memperhatikan jalan.” Katanya, “Anda baik-baik saja?” Tanyanya, khawatir jika wanita itu terluka.

“Ah, tidak apa-apa, saya juga bersalah karena kurang hati-hati.” Sahut wanita itu sambil tersenyum. saat melihatnya, Vivian merasa seperti mengenal wanita itu. “Sepertinya aku mengenalnya.” Pikirnya. “Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Wanita yang ditanyainya hanya mengerutkan dahi saat Vivian menanyakan tentangnya lagi. “Ah, ya, aku baru ingat, kaukah itu Liz? Elizabeth Arden?” Tanya Vivian.

“Ya, kau Vivian bukan? Senang bisa bertemu denganmu.” Sahut wanita yang dipanggil Liz itu. “Pantas saja rasanya aku mengenalmu, kau tidak banyak berubah Vy,” Lanjutnya.

Setelah memastikan diri mereka masing-masing, mereka pun berbincang dengan akrab layaknya 2 sahabat lama yang baru bertemu kembali. Namun, Vivian sadar dia tidak bisa berbincang terlalu lama dan memutuskan untuk menyudahi perbincangan mereka sambil sebelumnya memberikan alamat rumahnya pada Liz dan mengundangnya makan malam. “Kalian harus datang, Anna pasti senang bertemu dengan kalian lagi.” Sahut Vivian sebelum mengucapkan selamat tinggal dan beranjak pergi menuju mobilnya.

***

Senja mulai datang, cakrawala biru terganti oleh semburat jingga. Suara mesin mobil terdengar menderu di pekarangan rumah mewah itu. Dari dalamnya, keluar seorang gadis cantik menghampiri sosok wanita paruh baya yang baru saja memarkirkan mobilnya. “Ibu, kenapa baru pulang? Tidak biasanya.” Tanya gadis itu. “Maafkan ibu, banyak pekerjaan di butik, sehingga ibu terpaksa pulang terlambat.” Sahut sang ibu. “Kau sudah makan malam An?” Lanjutnya. “Tidak bu, aku menunggu ibu, aku sudah menyiapkan makan malam untuk kita, setelah ibu selesai membersihkan diri kita makan malam bersama ya,” Sahut Anna sambil berjalan beriringan dengan ibunya masuk kedalam rumah.

Saat makan malam dirumah megah itu terlalui seperti biasanya, tenang dan sunyi. Sang empunya rumah memang sangat disiplin dalam hal etika. Selesai mencuci peralatan makan dan membereskan semuanya, Anna dan ibunya menuju ruang keluarga untuk bersantai. Seperti biasa, mereka akan duduk santai berdua di sofa ruang keluarga yang nyaman menghadap perapian sambil saling menceritakan pengalaman masing-masing setiap harinya.

“Ah ya, ibu baru ingat, tadi pagi ibu bertemu dengan tetangga lama kita di London. Kau masih ingat dengan keluarga Arden bukan?” Vivian bertanya pada Anna sambil meminum coklat panas yang disajikan anaknya.

“Tentu saja aku masih ingat bu, kebetulan sekali, aku pun bertemu dengan Dennis di universitas tadi pagi saat aku sedang kebingungan mencari ruang kelasku, dia yang membantuku.” Jawab Anna dengan mata berbinar ceria. “Apa ibu bertemu dengan bibi Liz?” Lanjutnya.

“Ya, ibu bertemu dengannya di supermarket. Kami sempat berbincang sebentar, ibu sudah memberitahunya alamat rumah kita. Ibu ingin mengundangnya makan malam.”

“Itu ide yang bagus bu.” Sambut Anna. Dia merasa ide ibunya untuk mengundang keluarga Arden makan malam di rumah mereka benar-benar bagus. Apalagi sudah cukup lama keluarga mereka tidak bertemu, padahal dulu keluarganya dan keluarga Arden bersahabat akrab.

“Yah, ibu akan memberitahumu lagi jika mereka akan datang untuk makan malam, sekarang sudah malam lebih baik kau tidur.” Kata Vivian sambil memerintah putrinya untuk tidur dengan halus.

“Ya bu, ibu juga lebih baik tidur, selamat malam.” Sahut Anna sambil beranjak dari tempat duduknya menuju kamar tidurnya.

Sambil berjalan menuju kamarnya di lantai dua, dia mulai membayangkan jika memang rencana ibunya untuk mengundang keluarga Arden makan malam benar-benar terjadi dia tentu senang sekali. Sudah cukup lama dia tidak bertemu dengan Dennis dan keluarganya. Sejujurnya saat bertemu dengan Dennis di universitas dia bahagia sekali. Benar-benar suatu kebetulan yang langka dia bisa bertemu lagi dengan teman masa kecil sekaligus cinta pertamanya.

“Mungkin ini adalah hari keberuntunganku. Bertemu dengan Dennis lagi adalah takdir yang mengejutkan.” Pikirnya dalam hati. “Semoga besok lebih baik daripada hari ini.” Harapan yang selalu diucapkannya sebelum tidur, menjadi pengantarnya kealam mimpi.


(To be Continue...)

A/N :

Akhirnya updet bab 2 juga...kayaknya terlalu sedikit yah???

0 komentar:

Posting Komentar